Tepat pukul 02.00 dinihari, Harun bangun dan menunaikan ibadah Sholat Tahajjud hingga pukul 03.00 wita. Usai sholat Harun berdoa, dalam hatinya seraya memohon kekuatan dari Allah.
"Ya Allah, Engkau Maha Rahman dan Rahim, kuatkanlah aku dalam imanmu, hindarkan aku dari godaan syetan yang terkutuk. Lindungilah kedua orang tuaku, berilah mereka iman dan hikmah atas ramadhan kali ini." Harun masih larut dalam doanya, tak sadar kalau air matanya mengalir membashi pipinya. Dia menangis, teringat akan kedua orang tuanya, ibu, dan ayah tercintanya. Mereka jauh dipelosok negeri, bersantap sahur dengan suka ria, namun tak demikian dirasakan Harun, yang berada diperantauan.
"Ya Allah, berikanlah keteduhan iman kepada orang-orang yang aku sayangi ya Allah" Lanjut Harun dalam alunan doanya. Sementara dari luar kamarnya Bi Iyam mengetuk pintu kamarnya.
"Harun.... udah waktunya sahur..." Kata Bi Iyam dari balik pintu.
"Iyam Bi. Saya lagi siap-siap nih.." Sahut Harun dari kamarnya. Tak lama Harun keluar, sementara Bi Iyam masih berdiri didepan pintu kamarnya.
"Waktunya sahur Harun.." kata Bi Iyam mengulangi lagi ucapannya. kemudia berbalik kearah menuju dapur, diikuti Harun dari belakang. Sesampainya didapur Harun mempersiapkan makanan sahurnya sendiri, maklum anak kos, jauh dari sanak family. Ketika makan sahur tiba, Harun meneteskan air mata. Dia teringat akan kedua orang tuanya yang jauh darinya. Bi Iyam yang sejak tadi memperhatikan Harun, bertanya apa yang terjadi.
"Kamu kenapa Harun..?" Pertanyaan itu membuat Harun kaget dan cepat-cepat menghapus air matanya.
"Kamu kenapa Harun..?" Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilontarkan Bi Iyam.
"Kamu teringat orang tuamu..?" Kata Bi Iyam bertanya lagi. Pertanyaan itu terasa menusuk hati Harun, karena memang dia sedang mengingat orang tuanya.
"Iya, Bi. Saya ingat kepada ibu saya..." Jawab Harun dengan sedikit terisak. "Saya teringat ibu, ramadhan kali ini saya tak bersama mereka, ini untuk kesekian kalinya" Lanjut Harun yang semakin mengalir air matanya.
"Sabar ya? Kamu pasti bisa kok, lewati ini, tanpa mereka" Kata Bi Iyam menghibur.
"Mendingan kamu berdoa semoga mereka baik-baik saja, dan tetap sehat wal afiat menjalani puasa ramadham kalin ini" Kata Bi Iyam menyarankan.
"Iya, Bi. Terimakasih ya?" Kata Harun, kemudian memulai makan sahur. Tak ada suara lagi dari Harun, begitu juga dengan Bi Iyam, meninggalkan Harun dimeja makan dan menuju ruang keluarga untuk makan sahur dengan keluarganya.
Suasana sahur yang sunyi dan teduh, hanya suara wirid disetiap masjid yang terdengar. Harun tekun dalam menikmati makanannya, hingga imsyak hampir tiba. Usai makan sahur, dibersihkannya meja tempat makannya, kemudian mempersiakan diri untuk menunggu waktu subuh.Dalam keheningan malam Harun duduk termenung, terbayang olehnya wajah ayah dan ibunya, Harun berhayal andai mereka tak berpisah, mungkin mereka berkumpul bersama. Tapi kini mereka tak satu lagi, seperti dulu, seperti dua puluh lima tahun yang lalu. Yah, memang orang tua Hatun berpisah ketika Harun masih berumur satu tahun.Sungguh menyedihkan seorang bayi ditinggal cerai oleh kedua orang tuanya. Bayi Harun tak salah, telah menjadi korban perceraian itu. Kini Harun dewasa dan dihadapkan pada perasaan sedih, kedua orang tuanya memang masih ada namun sudah tak utuh lagi.
"Ya Allah, ku mohon kepadaMu, anugerahilah kedua orang tuaku keberkahan ramadhan ini. Aku tak bersama mereka, hanya Engkaulah yang bersama mereka, jagalah mereka tetap pada kesucian hati mereka, ya Allah." Seraya Harun berdoa. Tak terasa linangan air matanya membesahi pipinya.
يا رب ، والدي ووالدتي رعاية من الافتراءات وعذاب النار
Oleh : Hardiyanto
"Ya Allah, Engkau Maha Rahman dan Rahim, kuatkanlah aku dalam imanmu, hindarkan aku dari godaan syetan yang terkutuk. Lindungilah kedua orang tuaku, berilah mereka iman dan hikmah atas ramadhan kali ini." Harun masih larut dalam doanya, tak sadar kalau air matanya mengalir membashi pipinya. Dia menangis, teringat akan kedua orang tuanya, ibu, dan ayah tercintanya. Mereka jauh dipelosok negeri, bersantap sahur dengan suka ria, namun tak demikian dirasakan Harun, yang berada diperantauan.
"Ya Allah, berikanlah keteduhan iman kepada orang-orang yang aku sayangi ya Allah" Lanjut Harun dalam alunan doanya. Sementara dari luar kamarnya Bi Iyam mengetuk pintu kamarnya.
"Harun.... udah waktunya sahur..." Kata Bi Iyam dari balik pintu.
"Iyam Bi. Saya lagi siap-siap nih.." Sahut Harun dari kamarnya. Tak lama Harun keluar, sementara Bi Iyam masih berdiri didepan pintu kamarnya.
"Waktunya sahur Harun.." kata Bi Iyam mengulangi lagi ucapannya. kemudia berbalik kearah menuju dapur, diikuti Harun dari belakang. Sesampainya didapur Harun mempersiapkan makanan sahurnya sendiri, maklum anak kos, jauh dari sanak family. Ketika makan sahur tiba, Harun meneteskan air mata. Dia teringat akan kedua orang tuanya yang jauh darinya. Bi Iyam yang sejak tadi memperhatikan Harun, bertanya apa yang terjadi.
"Kamu kenapa Harun..?" Pertanyaan itu membuat Harun kaget dan cepat-cepat menghapus air matanya.
"Kamu kenapa Harun..?" Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilontarkan Bi Iyam.
"Kamu teringat orang tuamu..?" Kata Bi Iyam bertanya lagi. Pertanyaan itu terasa menusuk hati Harun, karena memang dia sedang mengingat orang tuanya.
"Iya, Bi. Saya ingat kepada ibu saya..." Jawab Harun dengan sedikit terisak. "Saya teringat ibu, ramadhan kali ini saya tak bersama mereka, ini untuk kesekian kalinya" Lanjut Harun yang semakin mengalir air matanya.
"Sabar ya? Kamu pasti bisa kok, lewati ini, tanpa mereka" Kata Bi Iyam menghibur.
"Mendingan kamu berdoa semoga mereka baik-baik saja, dan tetap sehat wal afiat menjalani puasa ramadham kalin ini" Kata Bi Iyam menyarankan.
"Iya, Bi. Terimakasih ya?" Kata Harun, kemudian memulai makan sahur. Tak ada suara lagi dari Harun, begitu juga dengan Bi Iyam, meninggalkan Harun dimeja makan dan menuju ruang keluarga untuk makan sahur dengan keluarganya.
Suasana sahur yang sunyi dan teduh, hanya suara wirid disetiap masjid yang terdengar. Harun tekun dalam menikmati makanannya, hingga imsyak hampir tiba. Usai makan sahur, dibersihkannya meja tempat makannya, kemudian mempersiakan diri untuk menunggu waktu subuh.Dalam keheningan malam Harun duduk termenung, terbayang olehnya wajah ayah dan ibunya, Harun berhayal andai mereka tak berpisah, mungkin mereka berkumpul bersama. Tapi kini mereka tak satu lagi, seperti dulu, seperti dua puluh lima tahun yang lalu. Yah, memang orang tua Hatun berpisah ketika Harun masih berumur satu tahun.Sungguh menyedihkan seorang bayi ditinggal cerai oleh kedua orang tuanya. Bayi Harun tak salah, telah menjadi korban perceraian itu. Kini Harun dewasa dan dihadapkan pada perasaan sedih, kedua orang tuanya memang masih ada namun sudah tak utuh lagi.
"Ya Allah, ku mohon kepadaMu, anugerahilah kedua orang tuaku keberkahan ramadhan ini. Aku tak bersama mereka, hanya Engkaulah yang bersama mereka, jagalah mereka tetap pada kesucian hati mereka, ya Allah." Seraya Harun berdoa. Tak terasa linangan air matanya membesahi pipinya.
يا رب ، والدي ووالدتي رعاية من الافتراءات وعذاب النار
Oleh : Hardiyanto
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah memberikan komentar tentang blog ini